Saat Menabur Benih Baik menjadi Gaya Hidup

Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.

Galatia 6:9

Sejak tahun 2014, aku punya satu kerinduan, yang menjadi semakin kuat setiap harinya. Saat aku dipanggil pulang ke Rumah Bapa di Surga, aku sudah meninggalkan jejak iman dan jejak kebaikan yang memberkati banyak orang. Aku ingin diingat sebagai hamba yang menjalankan tugasnya sebagai penabur benih baik.

Menabur benih baik, tentu tak perlu menunggu sampai punya uang berlimpah. Menabur benih baik sudah menjadi gaya hidup. Memberi, karena sudah menerima. Memberkati karena sudah diberkati. Tapi justru itu yang membuatku merasa tak cukup. Karena aku dan keluargaku menerima berkat yang sudah tak terhitung jumlahnya. Aku ingin bisa membantu, memberi kepada dan memberkati lebih banyak orang. Aku meletakkan kerinduanku di kaki Tuhan. Menangisi dan mendoakannya selama bertahun-tahun.

Aku ingin bisa membantu lebih banyak anak di Kalimantan yang selama ini hanya menerima 150 ribu yang kukirimkan setiap bulannya. Aku ingin bisa membantu lebih banyak lansia di gereja, yang saat ini hanya satu yang bisa ku kirimi madu setiap bulannya. Aku ingin bisa membantu lebih banyak anak di Nias,  yang saat hanya bisa menerima kiriman baju layak pakai. Aku ingin bisa membantu lebih banyak gereja di daerah terpencil, yang saat ini hanya bisa kubantu 500 ribu. Aku ingin bisa mewujudkan mimpi bersama suamiku, mulai melakukan perjalanan menabur lebih banyak benih baik di tahun 2023.

Aku tahu ada banyak cara untuk bisa memiliki kebebasan finansial dan kebebasan waktu. Tapi aku juga mengenali situasiku. Sudah tak terlalu banyak pilihan. Mau kerja lagi, sudah tak mungkin. Aku sudah jadi fosil. Mau buka usaha, apapun itu, pasti butuh lebih dari sekedar modal yang tak sedikit.

Saat sepupuku Risa mengirimkan Clover Honey, (madu kekinian itu..) aku percaya, itu bukan kebetulan. Melaluinya, aku bisa bergabung dalam keluarga besar HDI. Kebanyakan orang  melihat bisnis HDI hanya dari sisi MLMnya. Atau cerita-cerita suksesnya. Tapi aku melihat dengan kacamata yang berbeda. Perusahaan ini punya prinsip yang terus didengungkan. Memberi dan berbagi. Bahagia itu hanya bisa dicapai dengan memberi. Semakin banyak memberi, menabur benih baik dan memberi manfaat, kebahagiaan akan semakin utuh.

Aku tak segan mengutip pesan Mr. Brandon Chia, chairman & CEO HDI, “in HDI, success measured by how big is the positive impacts that you bring to the people around you.” Pesan ini mewujudnyata. HDI punya Sekolah Selamat Pagi Indonesia, sekolah gratis untuk anak-anak yatim piatu atau anak-anak yang tak punya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan berkualitas karena kondisi keuangan. Tak berhenti sampai disitu, HDI bersama Benih Baik, yang salah satu pendirinya adalah Andy F. Noya.  mencanangkan goal 10 ribu anak Indonesia bisa  lulus S1 di tahun 2030.

Bicara kecukupan, aku sudah sangat berkecukupan. Tapi justru sangat berkecukupan membuatku merasa tak cukup, kalau aku tak bisa berbuat lebih banyak, melakukan hal-hal bernilai kekekalan. Apa yang sudah dan sedang HDI lakukan, menjawab kebutuhanku untuk mencapai mimpiku. Bergabung dengan HDI bukan hanya soal MLM, bukan soal jualan dan mendapatkan keuntungan. Tak sesederhana, mendapatkan kebebasan finansial, kebebasan waktu. Tak sekedar bisa membeli rumah besar, mobil mahal atau jalan-jalan keluar negeri.

Bukan itu. Menjalankan bisnis ini, justru memberiku kesempatan untuk membawa manfaat bagi kehidupan banyak orang. Menjalankan bagianku menjadi berkat. Menjadikan menebar benih baik sebagai gaya hidup. Hingga akhirnya, meninggalkan warisan iman dan warisan kebaikan saat aku dipanggil pulang.

Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan.

Amsal 11:24