Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran.
Pengkotbah 7:1
Tahun 2021 baru berjalan kurang dari 3 bulan, namun sejak 27 Februari sampai 12 Maret, dalam kurun kurang dari 2 minggu, saya dan keluarga sudah mengalami kehilangan 4 orang yang kami kenal bukan hanya sekedar nama saja, tapi mengenal mereka secara dekat. 2 orang anggota keluarga besar dari pihak ibu mertua, 1 orang teman SMP yang saya kenal dekat, dan 1 orang teman anak saya yang sudah kami kenal sejak mereka masih SMP.
Kepergian mereka meninggalkan duka dan rasa tak percaya, karena jaraknya terlalu berdekatan. Rasanya belum selesai menangis untuk yang satu, sudah dipukul lagi dengan kepergian yang lain. Saya pribadi butuh waktu untuk bisa beradaptasi dengan rasa kehilangan yang terjadi. Namun, peristiwa peristiwa kematian itu, membuat saya merenungkan sebuah kalimat dari bahasa Latin, Memento Mori, yang diartikan sebagai ‘remember that you [have to] die’ Setiap orang PASTI mati.
Banyak orang bersukacita saat merayakan hari kelahiran, bahkan mengadakan pesta sebagai bentuk pengucapan syukur atas kelahiran atau atas bertambahnya usia. Namun tak sedikit orang yang lupa mempersiapkan hari kematiannya. Membicarakan kematian seperti tabu. Tak sopan membicarakan kematian di tengah orang-orang yang masih hidup. Bahkan tak sedikit orang yang tak mau membicarakannya, karena takut akan kematian.
Penulis kitab Pengkotbah tegas mengingatkan, tentang hari kematian dalam Pengkotbah 7 ayat 2, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.” Ini adalah sebuah kenyataan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Semua orang pasti mati. Memento Mori.
Pada ayat 4 di pasal yang sama, juga dikatakan “orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria.” Pertanyaannya, mengapa orang berhikmat senang berada di rumah duka? Apakah karena mereka kurang kerjaan? Tentu bukan. Orang berhikmat suka berada di rumah duka, karena di sanalah mereka bisa merenungkan bukan cara orang mati dan mengingat cara orang hidup.
Semua orang pasti mati, yang membedakan adalah cara orang yang meninggal, menjalankan kehidupannya.
Setahun terakhir, kematian tidak lagi bisa dihayati seperti sebelumnya. Orang sudah tidak bisa lagi berkumpul di rumah-rumah duka atau pergi beramai-ramai menghantar ke tempat peristirahatan abadi, sebagai bentuk penghormatan terakhir. Orang yang meninggal, terkesan seperti pergi dalam kesendirian, dalam kesepian, dalam keheningan. Dalam situasi seperti itu, yang paling sedih tentulah mereka yang ditinggalkan. Sudahlah berduka karena kehilangan, masih ditambah lagi tak bisa menghantarkan untuk yang terakhir kalinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang tersisa dari orang-orang yang sudah pergi mendahului kita? Apa yang bisa mengurangi rasa sedih karena kehilangan? Memori. Kenangan tentang orang-orang terkasih yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan kita, karena dimuliakan Tuhan ke Surga.
Hal inilah yang menjadi bahan perenungan, dalam memaknai kematian dari orang-orang yang kita kenal dekat. Seringkali, orang melupakan cara mereka hidup. Menjalankan kehidupan biasa-biasa saja, tanpa memikirkan, saat nanti dipanggil pulang, kenangan apa yang masih bisa menjadi penghiburan bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Saya lalu mengingat kenangan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua saya yang meninggal belasan tahun lalu. Sampai hari ini, jika jumpa dengan orang-orang yang mengenal mereka, cerita-cerita yang dibicarakan tak jauh dari bagaimana kesetiaan papa dalam melayani Tuhan atau betapa baik, ramah dan jago masaknya mama. Sebagai anak, sampai hari ini saya masih terus menyimpan merasa bangga pada kedua orang tua saya, sekalipun mereka sudah lama tiada.
Mengutip tulisan singkat dari salah seorang teman suami saya,
Ingatlah, hidup kita tidak dinilai dari awalnya, tetapi ditentukan oleh akhirnya.
Hidup kita tidak diukur dari kekayaan yang kita kumpulkan dan tinggalkan, tetapi oleh apa yang sudah kita lakukan, itulah yang akan dinilai dan dikenang pada hari kematian.
Mari jalani hidup dengan bijaksana, jangan buang waktu dengan hal yang sia-sia
Hidup ini ibarat pertandingan yang harus dimenangkan, isilah dengan kebaikan, peliharalah iman dalam kesetiaan hingga saat kematian .
Jangan fokus semata pada keduniawian, fokuskan diri pada Tuhan, agar kita masuk dalam kekekalan serta merasakan damai dan kebahagiaan sejati dalam keabadian.
Memento Mori mengingatkan kita, bagaimana kita menjalankan bagian kita untuk menjadi berkat, memberi manfaat positif bagi banyak orang, menjadi penebar benih baik, hingga akhirnya saat dipanggil pulang ke Rumah Bapa di Surga, akan menjadi warisan penting bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Memento Mori mengingatkan bahwa “Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran.”