Awalnya ikut-ikutan posting foto #10yearschallenge di FB, tapi karena aku bukan orang yang cukup pede untuk posting foto selfie, jadinya memilih majang foto bareng suami pakai hashtag #20yearschallenge.
Dari semua komentar yang diberikan, ada satu yang komentar yang menggelitik dan membuatku menanggapi..
“Wah, tahun 98 tnyta Pak Glen ganteng, malah si Kak Santi cupu loh… foto jadul ga bs boong..”
yang ku tanggapi dengan,
“ga diterusin bang… kalo foto tahun 2018….
Tak diduga, balasan komentarnya membuatku tertawa terbahak bahak, sekaligus membuatku merenungkan tentang sosok suamiku. Teman hidup yang menemaniku sejak Februari 1998.
Aku mengingat seperti apa diriku sebelum menikah dengannya. Aku mengingat betapa rendahnya rasa percaya diriku. Selama bertahun tahun, aku sulit menerima kenyataan kalau aku keturunan Tionghoa. Tidak cantik, tidak pintar, tidak kaya, tidak yakin dengan kemampuan diri sendiri. Aku sangat mudah tersinggung, karena rendahnya penghargaanku pada diriku sendiri.
Lalu, aku teringat juga, suatu hari lebih dari 20 tahun yang lalu, beberapa minggu setelah aku mulai akrab dengannya, aku menegaskan kepada temanku, dalam perjalananku menuju ke kantor, “gue harus jadian sama ni orang, baik banget dia..” Sepertinya Tuhan tahu persis, laki-laki seperti apa yang aku butuhkan. Aku, akhirnya memang menikah dengannya.
Menjalani pernikahan lebih dari 20 tahun, sama seperti kebanyakan pasangan yang lain, kami menikmati pasang surut, pertengkaran, perdebatan, keanehan-keanehan yang baru terlihat setelah menikah bertahun-tahun, hal-hal kecil yang memancing emosi. Tapi jika aku menengok ke belakang, memandang diriku sebelum menikah dengannya, lalu melihat diriku sekarang, aku tak akan pernah bisa berhenti bersyukur, karena Tuhan sudah berkenan memberikan Glen Stevano Tanihatu, menjadi suamiku.
Sekarang aku bisa dengan mudahnya menanggapi candaan soal “cina” dengan hati ringan. Aku terus menerus belajar menghargai diriku sendiri, sebagaimana suamiku, menghargai ku sampai aku “lupa” kalau aku “cina”. Rasanya, suamiku mengenalku lebih baik daripada aku mengenal diriku sendiri.
“Selama 10 tahun Pak Glen melupakan dirinya demi merawatmu kakakku… suami yang luarr biasa pengorbanannya….”
Kata temanku itu.
Suamiku bukan laki-laki sempurna. Dia punya banyak kekurangan. Namun bagiku, dia yang terbaik. Suamiku orang yang memegang komitmen dan setia pada hal-hal kecil. Laki-laki sederhana, yang terkadang rumit dalam berpikir. Laki-laki yang teramat sangat menikmati hubungannya dengan Tuhan. Mungkin temanku bercanda dengan komentarnya. Bisa juga dia serius. Tapi apapun maksud temanku itu, bahwa Tuhan memberiku kesempatan untuk memiliki pasangan yang sepadan, pasangan yang dianugerahi wibawa Ilahi, sosok suami dan ayah yang melupakan dirinya, demi merawatku dan juga anak semata wayang kami, memberikan kepadaku, kebahagiaan yang sulit diukur. Tidak banyak yang bisa kuucapkan untuknya, di hari ulang tahunnya yang ke 50 ini.
Selamat ulang tahun, teman hidupku.. Terima kasih untuk semua waktu yang kau berikan. Setiap kata penyemangat yang kau ucapkan dan setiap pelukan kasih yang menghiburkan. Hanya Tuhan sajalah, yang mampu memberikan yang terbaik dan membalas semua kasih sayangmu untukku..
Efesus 5: 33
“Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.”
