Author Archives: toebildonk

About toebildonk

In my little magical world, I am a Major of Barnia City, a Barnian writer and a Gengster Alien subber. I write to share my feelings, my opinion, my thoughts.

Aku, Ojol & NMax: Sebuah kisah tentang Keinginan vs Kebutuhan

Kamis, 13 Juli 2023

Sejak berkantor di bilangan Jakarta Selatan, walau hanya perlu dua kali seminggu ke kantor, dan setelah mencoba beberapa moda transportasi, akhirnya saya menjatuhkan pilihan untuk menggunakan jasa Ojol, pergi dan pulang. Lumayanlah, 45-50 menit perjalanan dengan motor.

Karena perjalanan saya cukup jauh, kadang dalam hati terbersit, pengen lowh, dapet ojolnya yang motornya NMax, karena dudukan penumpang lebar, jadi kuranglah rasa pegal dibagian-bagian tertentu. Hanya saja, karena saya memilih memakai jasa ojol dengan tarif yang lebih rendah, probabilitas mendapatkan driver dan Nmax agak kecil.

Kamis, 6 Juli, jam 7 pagi. Jadual ke kantor. Pesan ojol, sambil mbantin, kalau mau dapat NMax, ya harus pesan ojol yang tarifnya lebih mahal. Tapi ya, saya tetap pesan saja lewat aplikasi ojol yang biasa. Saat konfirmasi driver masuk, saya tercenung. Driver H, nopol dan motor NMAX. Sepanjang perjalanan, saya tak habis terpukau, sambil nyengir sepanjang perjalanan, tak bisa berkata-kata. (untunglah pakai masker, kalo ndak orang pasti pikir saya kenapalah..). Setibanya di lokasi, tentu saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Langsung minta nomor kontak drivernya. Simpan. Kalo ke kantor lagi, saya mau Ojol + Nmax.

Sabtu, 8 Juli, jam 9 pagi. Keluar unit, bersiap ke gereja, berjalan beberapa langkah, saya tergelincir di koridor, jatuh tergeletak. (Oh iya, saya tinggal di kompleks apartemen di daerah BSD). Puji Tuhan ketebalan bantalan bawah menyelamatkan saya dari patah atau retak. Menyisakan pegal dan ngilu di beberapa bagian saja.

Kamis, 13 Juli, jam 7.20 pagi. Masih ada pegal & ngilu di bagian tertentu, tapi harus ke kantor. Kontak ojol + Nmax langganan, (cieeee udah punya ojol NMax langganan….) berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, saya bercakap dengan diri sendiri, seolah, sudah disediakan. Sebelum saya jatuh, sudah punya driver ojol bermotor Nmax. Setelah jatuh, saya jadi bisa ke kantor dengan motor yang meminimalisir pegal tambahan.

Kamis, 13 Juli, jam 5 sore. Karena driver ojol + Nmax nya tak bisa jemput, saya pasrah, ya sudah Tuhan, saya pasti bisa pulang, apapun juga motornya nanti. Paling nanti minta drivernya jalan alon-alon biar tak terlalu terguncang. Maklum, pinggang masih kurang nyaman. Pesan lewat aplikasi, dapat konfirmasi, Driver B, nopol dan motor NMAX. Kalau bukan sedang berdiri di tempat keramaian, mungkin saya sudah tertawa terbahak-bahak sambil berteriak “TUHAN, LOE EMANG GA ADA MATINYA DAH!”

Selama bertahun-tahun, saya memegang beberapa ayat Alkitab sebagai koncian saya. Salah satunya, dari Mazmur 37:4, dan bergembiralah karena Tuhan; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.

Saya tak tahu, apakah saya sungguh sudah bergembira karena Tuhan dalam kehidupan keseharian saya. Yang saya tahu dan alami selama ini, Tuhan menjawab doa, sesuai kebutuhan. Tapi Kamis, 13 Juli, Tuhan memberikan kepada saya, apa yang menjadi keinginan hati saya. Keinginan recehan, Ojol + Nmax. Sebagai catatan, saya tidak sedang jadi endorser untuk Nmax, tapi sekarang saya punya nomor kontak 2 driver ojol bermotor Nmax. Sesuatu yang selama ini saya pikir tidak mungkin terjadi.

Saya tak tahu juga, ke depan apa yang akan terjadi dalam hari-hari kehidupan saya. Tapi selain Mazmur 37:4, saya juga mengamini Roma 8:28, Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

Antara kebutuhan vs keinginan, Tuhan memberi yang terbaik, walau sering kali, caraNya, tak mudah dimengerti. Tuhan Yesus memberkati.

MEMENTO MORI

Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran.

Pengkotbah 7:1

Tahun 2021 baru berjalan kurang dari 3 bulan, namun sejak 27 Februari sampai 12 Maret, dalam kurun kurang dari 2 minggu, saya dan keluarga sudah mengalami kehilangan 4 orang yang kami kenal bukan hanya sekedar nama saja, tapi mengenal mereka secara dekat. 2 orang anggota keluarga besar dari pihak ibu mertua, 1 orang teman SMP yang saya kenal dekat, dan 1 orang teman anak saya yang sudah kami kenal sejak mereka masih SMP.

Kepergian mereka meninggalkan duka dan rasa tak percaya, karena jaraknya terlalu berdekatan. Rasanya belum selesai menangis untuk yang satu, sudah dipukul lagi dengan kepergian yang lain. Saya pribadi butuh waktu untuk bisa beradaptasi dengan rasa kehilangan yang terjadi. Namun, peristiwa peristiwa kematian itu, membuat saya merenungkan sebuah kalimat dari bahasa Latin, Memento Mori, yang diartikan sebagai ‘remember that you [have to] die’ Setiap orang PASTI mati.

Banyak orang bersukacita saat merayakan hari kelahiran, bahkan mengadakan pesta sebagai bentuk pengucapan syukur atas kelahiran atau atas bertambahnya usia. Namun tak sedikit orang yang lupa mempersiapkan hari kematiannya. Membicarakan kematian seperti tabu. Tak sopan membicarakan kematian di tengah orang-orang yang masih hidup. Bahkan tak sedikit orang yang tak mau membicarakannya, karena takut akan kematian.

Penulis kitab Pengkotbah tegas mengingatkan, tentang hari kematian dalam Pengkotbah 7 ayat 2, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.” Ini adalah sebuah kenyataan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Semua orang pasti mati. Memento Mori.

Pada ayat 4 di pasal yang sama, juga dikatakan “orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria.” Pertanyaannya, mengapa orang berhikmat senang berada di rumah duka? Apakah karena mereka kurang kerjaan? Tentu bukan. Orang berhikmat suka berada di rumah duka, karena di sanalah mereka bisa merenungkan bukan cara orang mati dan mengingat cara orang hidup.

Semua orang pasti mati, yang membedakan adalah cara orang yang meninggal, menjalankan kehidupannya.

Setahun terakhir, kematian tidak lagi bisa dihayati seperti sebelumnya. Orang sudah tidak bisa lagi berkumpul di rumah-rumah duka atau pergi beramai-ramai menghantar ke tempat peristirahatan abadi, sebagai bentuk penghormatan terakhir. Orang yang meninggal, terkesan seperti pergi dalam kesendirian, dalam kesepian, dalam keheningan. Dalam situasi seperti itu, yang paling sedih tentulah mereka yang ditinggalkan. Sudahlah berduka karena kehilangan, masih ditambah lagi tak bisa menghantarkan untuk yang terakhir kalinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang tersisa dari orang-orang yang sudah pergi mendahului kita? Apa yang bisa mengurangi rasa sedih karena kehilangan? Memori. Kenangan tentang orang-orang terkasih yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan kita, karena dimuliakan Tuhan ke Surga.

Hal inilah yang menjadi bahan perenungan, dalam memaknai kematian dari orang-orang yang kita kenal dekat. Seringkali, orang melupakan cara mereka hidup. Menjalankan kehidupan biasa-biasa saja, tanpa memikirkan, saat nanti dipanggil pulang, kenangan apa yang masih bisa menjadi penghiburan bagi orang-orang yang ditinggalkan.

Saya lalu mengingat kenangan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua saya yang meninggal belasan tahun lalu. Sampai hari ini, jika jumpa dengan orang-orang yang mengenal mereka, cerita-cerita yang dibicarakan tak jauh dari bagaimana kesetiaan papa dalam melayani Tuhan atau betapa baik, ramah dan jago masaknya mama. Sebagai anak, sampai hari ini saya masih terus menyimpan merasa bangga pada kedua orang tua saya, sekalipun mereka sudah lama tiada. 

Mengutip tulisan singkat dari salah seorang teman suami saya,

Ingatlah, hidup kita tidak dinilai dari awalnya, tetapi ditentukan oleh  akhirnya.

Hidup kita tidak diukur dari kekayaan yang kita kumpulkan dan  tinggalkan, tetapi oleh apa yang sudah kita lakukan, itulah yang akan dinilai dan dikenang pada hari kematian.

Mari jalani hidup dengan bijaksana, jangan buang waktu dengan hal yang sia-sia

Hidup ini ibarat pertandingan yang harus dimenangkan, isilah dengan kebaikan, peliharalah iman dalam kesetiaan hingga saat kematian .

Jangan fokus semata pada keduniawian, fokuskan diri pada Tuhan, agar kita masuk dalam kekekalan serta merasakan damai dan kebahagiaan sejati dalam keabadian.

Memento Mori mengingatkan kita, bagaimana kita menjalankan bagian kita untuk menjadi berkat, memberi manfaat positif bagi banyak orang, menjadi penebar benih baik, hingga akhirnya saat dipanggil pulang ke Rumah Bapa di Surga, akan menjadi warisan penting bagi orang-orang yang ditinggalkan.

Memento Mori mengingatkan bahwa “Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran.”

Saat Menabur Benih Baik menjadi Gaya Hidup

Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.

Galatia 6:9

Sejak tahun 2014, aku punya satu kerinduan, yang menjadi semakin kuat setiap harinya. Saat aku dipanggil pulang ke Rumah Bapa di Surga, aku sudah meninggalkan jejak iman dan jejak kebaikan yang memberkati banyak orang. Aku ingin diingat sebagai hamba yang menjalankan tugasnya sebagai penabur benih baik.

Menabur benih baik, tentu tak perlu menunggu sampai punya uang berlimpah. Menabur benih baik sudah menjadi gaya hidup. Memberi, karena sudah menerima. Memberkati karena sudah diberkati. Tapi justru itu yang membuatku merasa tak cukup. Karena aku dan keluargaku menerima berkat yang sudah tak terhitung jumlahnya. Aku ingin bisa membantu, memberi kepada dan memberkati lebih banyak orang. Aku meletakkan kerinduanku di kaki Tuhan. Menangisi dan mendoakannya selama bertahun-tahun.

Aku ingin bisa membantu lebih banyak anak di Kalimantan yang selama ini hanya menerima 150 ribu yang kukirimkan setiap bulannya. Aku ingin bisa membantu lebih banyak lansia di gereja, yang saat ini hanya satu yang bisa ku kirimi madu setiap bulannya. Aku ingin bisa membantu lebih banyak anak di Nias,  yang saat hanya bisa menerima kiriman baju layak pakai. Aku ingin bisa membantu lebih banyak gereja di daerah terpencil, yang saat ini hanya bisa kubantu 500 ribu. Aku ingin bisa mewujudkan mimpi bersama suamiku, mulai melakukan perjalanan menabur lebih banyak benih baik di tahun 2023.

Aku tahu ada banyak cara untuk bisa memiliki kebebasan finansial dan kebebasan waktu. Tapi aku juga mengenali situasiku. Sudah tak terlalu banyak pilihan. Mau kerja lagi, sudah tak mungkin. Aku sudah jadi fosil. Mau buka usaha, apapun itu, pasti butuh lebih dari sekedar modal yang tak sedikit.

Saat sepupuku Risa mengirimkan Clover Honey, (madu kekinian itu..) aku percaya, itu bukan kebetulan. Melaluinya, aku bisa bergabung dalam keluarga besar HDI. Kebanyakan orang  melihat bisnis HDI hanya dari sisi MLMnya. Atau cerita-cerita suksesnya. Tapi aku melihat dengan kacamata yang berbeda. Perusahaan ini punya prinsip yang terus didengungkan. Memberi dan berbagi. Bahagia itu hanya bisa dicapai dengan memberi. Semakin banyak memberi, menabur benih baik dan memberi manfaat, kebahagiaan akan semakin utuh.

Aku tak segan mengutip pesan Mr. Brandon Chia, chairman & CEO HDI, “in HDI, success measured by how big is the positive impacts that you bring to the people around you.” Pesan ini mewujudnyata. HDI punya Sekolah Selamat Pagi Indonesia, sekolah gratis untuk anak-anak yatim piatu atau anak-anak yang tak punya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan berkualitas karena kondisi keuangan. Tak berhenti sampai disitu, HDI bersama Benih Baik, yang salah satu pendirinya adalah Andy F. Noya.  mencanangkan goal 10 ribu anak Indonesia bisa  lulus S1 di tahun 2030.

Bicara kecukupan, aku sudah sangat berkecukupan. Tapi justru sangat berkecukupan membuatku merasa tak cukup, kalau aku tak bisa berbuat lebih banyak, melakukan hal-hal bernilai kekekalan. Apa yang sudah dan sedang HDI lakukan, menjawab kebutuhanku untuk mencapai mimpiku. Bergabung dengan HDI bukan hanya soal MLM, bukan soal jualan dan mendapatkan keuntungan. Tak sesederhana, mendapatkan kebebasan finansial, kebebasan waktu. Tak sekedar bisa membeli rumah besar, mobil mahal atau jalan-jalan keluar negeri.

Bukan itu. Menjalankan bisnis ini, justru memberiku kesempatan untuk membawa manfaat bagi kehidupan banyak orang. Menjalankan bagianku menjadi berkat. Menjadikan menebar benih baik sebagai gaya hidup. Hingga akhirnya, meninggalkan warisan iman dan warisan kebaikan saat aku dipanggil pulang.

Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan.

Amsal 11:24